Posts Tagged ‘parenting’

h1

On Our Duty As Parents

6 September 2014

Disclaimer: Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman saya menjadi pengajar dan pengelola sebuah SD swasta Islam full-day periode 2009-2011 dan SMP swasta Islam boarding & full-day periode 2006-2012 (yang berbeda lokasi dan yayasan). Saya belum berpengalaman menjadi orang tua/wali murid yang menyekolahkan anak. Sehingga, bila di kemudian hari saya diberi ALLAH kesempatan mengalami sendiri menjadi orang tua/wali murid yang menyebabkan perubahan sudut pandang dan pemikiran, insya ALLAH, saya akan merevisi tulisan ini.

Sebuah insiden, atau lebih tepatnya disebut sebagai sebuah ‘runtutan insiden’ yang sebenarnya terjadi tanpa keterlibatan saya, langsung maupun tidak, menuntun saya menuliskan artikel ini. Sebenarnya, itu adalah sebuah insiden yang bersifat sangat ‘klasik nan normal bin wajar’ terjadi pada anak remaja yang bersekolah. Namun, sikap dan cara-cara ibu sang anak meresponnya (setidaknya dari cerita yang saya dengar dari penutur yang subyektif) membuat saya prihatin dan merasa perlu ‘meluruskan’ sesuatu (yang bengkok).

Sebagai seorang muslim, saya tidak bisa tidak mengacu kepada ajaran Islam. Namun saya tidak menuliskan dalil-dalil ayat Quran maupun hadits shahihnya. Semata-mata agar tulisan ini lebih ringkas dan praktis. Lagipula, khazanah ilmu Quran dan hadits saya masih sangat terbatas. Saya sangat berterima kasih jika ada pembaca yang memperkaya maupun mengoreksi dengan dalil-dalil yang tepat.

Saya menuliskannya ke dalam poin-poin agar nampak runut dan mudah dibaca (ulang)… baca selengkapnya

h1

Kurikulum 2013 May Go To H***

28 Desember 2013

Agar lebih sensasional, saya sengaja memilih judul yang seperti itu. Tiga karakter setelah huruf h yang saya samarkan dengan karakter bintang sebenarnya adalah huruf-huruf ell. Sehingga kata penuhnya adalah hell (neraka), wkwkwkkk 😀 .

Pembaca yang belajar bahasa Inggris pasti paham makna dari ungkapan “go to hell”. Bagi yang belum paham, secara tekstual artinya “pergi ke neraka”. Ngapain??? Emangnya di neraka enak???

Bukan berarti pergi ke neraka beneran. Ungkapan itu bermakna konotatif. Jika seseorang mengatakan kepada Anda, “You can/may go to hell.” maka yang sebenarnya ia maksud adalah bahwa ia sama sekali tidak peduli kepada Anda dan apapun yang Anda lakukan, meski Anda pergi ke neraka sekalipun. Dan menggunakan kata hell dalam kalimat yang ditujukan kepada orang lain adalah ungkapan yang bernada kasar sebagai penegasan sikap dari si pembicara.

Dalam sekuel film Harry Potter, jika jeli, Anda akan menemukan frasa “bloody hell” yang diucapkan oleh beberapa tokoh. Sudah ada kata hell, masih diikuti dengan kata bloody (berdarah-darah) pula. Mungkin bisa dimaknai sebagai ungkapan makian yang (sangat) kasar bagi orang Inggris.

Anyway, kembali ke judul artikel ini…

Ya! Saya memang mengajak Anda untuk tidak mempedulikan Kurikulum 2013 dalam konteks sebagai orang tua. Tetapi, sebagai warga negara, tentu kita harus terus mencermati dan mengkritisinya. Sebagaimana program-program dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang menggelontorkan dana APBN (baca: uang rakyat) dalam jumlah besar, kita berhak dan wajib untuk tidak mengabaikannya.

Hal yang paling mengemuka, atau bisa dibilang berubah drastis dari Kurikulum 2013, yang di-blow up media, adalah penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), serta penghapusan ujian nasional, semuanya untuk tingkat Sekolah Dasar (SD).

Kebijakan tersebut tentulah mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Namun secara kasat mata, saya menilai kali ini pihak yang pro hanya dari sisi pemerintah (Kemendikbud dengan segenap para profesor/pakar yang super duper jenius puol sampai mentok). Sedangkan pihak yang kontra tidak hanya dari kalangan masyarakat selaku orang tua dan keluarga dari para murid SD, namun ternyata juga para pengamat pendidikan, para akademisi di luar bidang pendidikan, dan bahkan para praktisi bisnis dan industri selaku user dari tenaga kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.

Setidaknya ada dua alasan kenapa saya mengajak para orang tua murid untuk mengabaikan saja polemik Kurikulum 2013. baca selengkapnya

h1

Banyak Anak, Ibu Harus Berdaya

22 Oktober 2013

Sambil menjalankan aktifitas sehari-hari, istri saya berjualan pulsa elektrik. Hanya bermodalkan ponsel biasa dan uang tunai dua ratus ribu rupiah, bisnis tersebut bisa dijalankan sambil lalu. Beberapa pelanggan setianya biasa membeli secara kredit, pesan dulu lewat pesan singkat (SMS), melunasinya nanti setelah bertemu (tentu tidak dalam jangka waktu yang lama).

Senin (12/08) masih dalam suasana Lebaran 1434 H, hari itu ada tiga lokasi yang hendak kami kunjungi. Pertama, sebut saja kediaman bu Faisal (bukan nama sebenarnya). Kedua, membesuk teman SMA istri di RSUD Dr. Soetomo yang dirawat sejak sebelum Idul Fitri karena menderita DBD, yang kabarnya hari itu dia akan selesai menjalani perawatan dan dibolehkan pulang. Ketiga, ke rumah sohib akrab yang sudah saya anggap kakak sendiri.

Tulisan ini idenya bersumber dari ngobrol-ngobrol di rumah bu Faisal. baca selengkapnya

h1

Belajar dari Kecelakaan Maut Si Dul: With Great Power Comes Great Responsibility

17 September 2013

Berbagai liputan dan opini para pakar tentang kasus ini sudah banyak beredar di berbagai media. Artikel ini tidak bermaksud pro maupun kontra kepada salah satu pihak manapun. Sudut pandangnya adalah: bagaimana jika saya punya anak remaja yang ingin mengendarai mobil/motor?

Lagi-lagi, di negeri ini di setiap permasalahan di sektor/bidang apapun yang mencuat mengemuka menjadi rasan-rasan tingkat nasional, ketika berusaha diuraikan akar dan pokok permasalahan, selalu yang ditemukan adalah kompleksitas masalah. Selalu, tidak ada satu-satunya pihak yang bisa dituding dan dituntut sebagai penyebab utama. Selalu, ditemukan banyak pihak-pihak yang berkontribusi dalam kesalahan dan permasalahan tersebut. Selalu, fenomena yang muncul hanyalah sebuah ‘puncak gunung es’ yang berarti yang lain yang belum terungkap masih jauh lebih massif.

Oleh karena tidak adanya satu pihak tunggal yang bisa dijadikan pesakitan maka otomatis tidak ada satu pun pihak yang akan dengan ksatria tampil ke panggung patriotisme untuk berseru, “Sayalah yang bertanggung jawab!”

Dalam kasus Dul, tindakan cepat Ahmad Dhani dan Maia Estianty yang mengakui perbuatan anaknya, bertanggung jawab secara moril kepada para keluarga korban, dan mematuhi proses hukum di kepolisian layak mendapatkan apresiasi yang tinggi. Orang khilaf yang segera mengaku salah lebih cepat dan mudah mendapatkan maaf dan simpati dari pihak lain. Berbeda sekali dari tokoh-tokoh publik lain, yang jangankan baru berstatus tersangka oleh KPK, sudah divonis bersalah di Mahkamah Agung, masih saja pandai bersilat lidah mengaku tak bersalah, berakting sebagai hamba beriman yang menjadi korban kedholiman, dan menuntut hak-hak azasinya di depan kamera tivi melebihi ‘dosa-dosa’ hukumnya kepada negara. lanjutkan

h1

Jangan Bilang “Jangan” Secara Berlebihan

10 Agustus 2012

Dalam dua pekan belakangan ini, saya menemui dua orang kyai senior plus seorang rekan guru SD di pesantren saya yang menggugat apa yang mereka sebut sebagai ‘model parenting ala barat’. Kyai yang satu menuliskan di dalam website pribadinya dan juga dimuat di buletin pesantren, sedangkan kyai yang satu lagi menuliskannya di kolom rutin dalam majalah yang dikelola oleh divisi yang satu ormas dengan pesantren kami. Sementara itu penolakan yang dari rekan guru itu terjadi saat bincang-bincang ba’da sholat Jumat minggu lalu. baca selengkapnya