h1

Renungan Di Pesisir Kenjeran: Hijab, Fisik Dulu atau Hati Dulu???‎

2 Juli 2015

Sebagai pembuka, saya kutipkan terlebih dahulu dua firman ALLAH Swt. sebagai berikut:

al ahzab 33-59

  1. Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33]: 59)

[1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

an nuur 24-31

  1. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada ALLAH, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nuur [24]: 31)

(captured from: Al Quran Digital2.21.chm)

Awalnya, saya berasumsi semua kaum muslim dan muslimah yang sudah lulus SMA dan berasal dari kalangan sosial menengah atas pasti: pernah khatam baca Quran minimal sekali, pernah membaca terjemahan ayat-ayat Quran minimal yang bertemakan hal-hal yang menjadi urusan rutin harian, dan/atau pernah mendapatkan informasi tentang perkara-perkara pokok yang wajib dalam ajaran Islam.

Paling tidak, saya menganggap kedua ayat yang saya jadikan pembuka artikel ini adalah ayat-ayat yang sangat ordinary, sangat common, sangat well-known, dan not something new di kalangan umat Islam.

Ternyata, asumsi saya salah!

Di bulan Ramadhan ini, saya lupa tanggalnya, suatu ketika saat berpindah-pindah kanal tivi dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Perhatian saya tertuju pada wawancara salah seorang selebriti wanita. Ia berusia 20-an, menikah muda, terpaut usia belasan tahun dengan suaminya, dan sudah memiliki seorang bayi perempuan. Ia diwawancarai karena keputusannya mengenakan hijab secara permanen.

Ia menjelaskan kronologi sampai akhirnya memutuskan berhijab. Yang membuat saya ‘heran’, ia mengatakan bahwa ia ‘baru’ membaca ayat ke-59 dari surat Al Ahzab dan ‘baru tahu’ bahwa berhijab itu kewajiban, bukan anjuran. Makanya kemudian ia memutuskan mengenakan hijab.

Hadeeeeeeehhh

Nah, daripada saya meresponnya dengan, “H… E… L… L… O… HELLO!!!” (dengan gaya alay), lebih baik saya tuliskan saja kedua ayat tersebut. Sehingga, saat artikel ini terbaca oleh siapapun, tidak ada lagi yang boleh beralasan “belum tahu”, atau “belum pernah mendengar”, atau “baru dengar/baca” tentang kewajiban berhijab.

Sekarang kita semua tahu, berhijab itu wajib!

***

Di lain waktu, entah untuk ke sekian puluh kalinya saya mendengar wanita-wanita muslimah yang kebetulan menjadi selebriti (dan perilakunya menjadi panutan masyarakat), ketika ditanya tentang dirinya yang masih belum berhijab menjawab dengan dalih:

“Saya masih belum siap.”

“Saya masih berusaha menghijabi hati saya dulu.”

“Percuma berhijab secara fisik tapi kalau hatinya masih kotor.”

And so on, so on, so on

Mari kita dudukkan perkara sesuai tempatnya.

Pertama,

Saya mengibaratkan Islam sebagai sebuah bangunan yang:

  • Pondasinya berupa aqidah, seperti yang tertuang dalam rukun iman (iman kepada ALLAH, para malaikat, kitab-kitab, Nabidan Rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadar alias takdir);
  • Pilar/tiangnya berupa ibadah ritual, seperti yang tertuang dalam rukun Islam (syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji);
  • Dindingnya dan atapnya berupa tuntunan perilaku dan akhlak (gaya hidup Islami) baik yang bersifat privat maupun sosial-komunal sebagaimana yang diajabarkan dalam Quran dan hadits shahih.

Saya berikan beberapa contoh gaya hidup Islami:

  1. Mengawali aktifitas yang baik dengan basmalah (minimal) atau doa tertentu;
  2. Makan dan minum dengan tangan kanan;
  3. Bersuci dari hadats dan najis;
  4. Berhijab;
  5. Menghindari ber-khalwat (menyendiri dengan lawan jenis yang bukan muhrim);
  6. Menundukkan pandangan;
  7. Menebarkan salam;
  8. Menikah;
  9. dan masih banyak lagi…

Kedua,

Sebagaimana tertulis dengan jelas, gamblang, dan terang-benderang bahwa hijab itu perintah langsung dari ALLAH Swt. kepada para istri nabi, para anak perempuan nabi, para istri kaum mukmin (orang yang beriman), dan para anak perempuan kaum mukmin sehingga bersifat wajib secara mutlak.

Karenanya,

Ketiga,

Hijab bukanlah penafsiran sebagian ulama yang masih terdapat perbedaan dengan ulama yang lainnya. Semua ulama dari kalangan ahlussunnah sepakat bahwa hijab adalah wajib bagi perempuan mukmin (yaaah, untuk perempuan yang bukan mukmin, sih, sak karepmulah!). Sepakat disini bukan berarti mereka bersepakat dalam menentukan jenis amalan ataupun sifat wajibnya. Akan tetapi, semuanya menegaskan terdapatnya dalil-dalil yang qoth’i (jelas, tidak terbantah, dan wajib dilaksanakan) tentang perintah berhijab.

Ini membantah tudingan sebagian orang yang keracunan paham feminisme dan mabuk kesetaraan gender yang selalu berdalih bahwa agama itu dikangkangi oleh kaum lelaki. Karenanya segala aturan dibuat dari sudut pandang lelaki dan untuk kepentingan lelaki. Yang, lebih dahsyat lagi adalah tudingan, “Yang nafsu yang laki-laki, kenapa yang perempuan yang harus dihijabi?!”

Ya, asal Loe semua pada tahu aje, ye. Sebagai pria terhormat, gue bersumpah, andaikan ada perempuan yang bukan murim telanjang di depan gue sekalipun, gue akan sekuat tenaga mengendalikan nafsu gue agar tidak melakukan pelecehan apalagi perzinahan dengan perempuan itu. Gue menjamin keselamatan dan kehormatan perempuan itu tetap terjaga. Yang akan gue lakukan adalah memalingkan muka gue dan mengulurkan apapun yang ada di dekat gue untuk menutup auratnye. Puas??!

Keempat,

Mengenakan hijab harus didasarkan atas kepatuhan kepada ALLAH, bukan karena alasan logis ini, itu, anu, anu.

Saya beri contoh, ALLAH mengharamkan mengonsumsi babi. Inilah satu-satunya hewan yang secara tekstual diharamkan, bahkan ketetapannya dituliskan di dalam Quran. Bandingkan dengan hewan lain yang halal-haramnya ditentukan oleh kriteria dan penafsiran. Misalnya, hewan-hewan karnovira diharamkan lewat penafsiran hadits yang melarang memakan hewan yang bercakar dan bertaring yang mencari makan dengan cakar dan taringnya alias memangsa hewan lain sebagai satu-satunya sumber makanan alamiah.

Nah, sikap hidup kita yang tidak makan babi, cukup hanya dengan bersandar pada satu alasan: karena ALLAH mengharamkannya!

Bahwa kemudian ditemukan bukti-bukti ilmiah lewat penelitian bahwa segala unsur dan bagian dalam tubuh babi itu ternyata merugikan, misalnya karena pada daging babi hiduplah cacing yang merupakan parasit bagi manusia. Bahwa hidup suburnya cacing dalam tubuh babi adalah karena cara hidup babi yang super duper jorok. Konon, babi mampu hidup tanpa diberi makanan karena bisa memakan kotorannya sendiri. Itu urusan lain!

Itu hanyalah secuil bukti bahwa ALLAH tidak mengharamkan sesuatu kecuali memang mengandung mudharat yang besar bagi manusia!

Babi yang mengandung cacing, gaya hidupnya yang jorok, serta kolu memakan kotorannya sendiri tidak menjadi alasan ALLAH mengharamkan babi.

Seandainya babi bisa dikondisikan sedemikian rupa sehingga tidak ada cacing yang hidup di tubuhnya, bisa diatur gaya hidupnya menjadi bersih, dan dicegah dari makan kotorannya sendiri apakah lantas babi menjadi tidak haram??? Sama sekali tidak! Babi tetap haram karena diharamkan oleh ALLAH!

Daging sapi dan kambing juga mengandung cacing, lho. Bebek dan kerbau gaya hidupnya juga jorok, lho. Ikan lele doyan makan kotoran manusia, lho.

Toh, mereka tetap halal dimakan setelah disembelih dan diolah dengan prosedur yang syar’i serta higienis.

Kembali ke hijab…

Bukan karena supaya laki-laki yang melihat tidak timbul nafsu. Bukan karena mencegah tindakan pelecehan seksual. Bukan karena ini, bukan karena itu, bukan karena yang lain-lain.

Ada, laki-laki yang bernafsu melihat wanita meski sudah berhijab, laki-laki itulah yang berdosa.

Ada, wanita berhijab yang mengalami pelecehan seksual bahkan perkosaan, itulah ujian berat dari ALLAH untuk wanita tersebut dan tidaklah setiap ujian diberikan kecuali untuk menaikkan ‘kelas’ hamba yang bersangkutan.

Berhijablah karena ALLAH memerintahkannya!

Tentu saja, insya ALLAH, akan ada manfaat besar dari berhijab, sebagaimana ALLAH tidak akan pernah lupa memberikan ganjaran kepada hamba-Nya yang patuh pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kelima,

Di poin pertama saya sebutkan bahwa hijab bagian dari gaya hidup.

Bayangkan tubuh Anda terkena najis/kotoran.

Apa yang Anda lakukan? Membersihkannya tanpa menunda-nunda, bukan? Mengapa? Karena Anda ingin, bersih, tidak tahan dalam kondisi kotor, dan sudah menjadi gaya hidup Anda untuk selalu bersih dari najis/kotoran.

Memangnya apa Anda betah berlama-lama menjalani hidup bersama najis/kotoran di sekitar Anda???

Begitu pulalah seharusnya dengan hijab.

Ketika Anda memperhitungkan akan berada dalam situasi dimana Anda bertemu dengan lawan jenis yang bukan muhrim atau bertemu dengan kaum non muslim baik sejenis maupun lawan jenis (maaf, ini bukan sikap rasis), maka seketika itulah serta merta otomatis Anda mengenakan hijab.

Meski hanya sekedar ke warung depan rumah. Meski hanya sekedar membukakan gerbang halaman saat suami berangkat/pulang kerja. Meski hanya sekedar menyapu halaman atau teras depan rumah.

Keenam,

Memang, dalam Islam ada amalan-amalan tertentu yang menjadi syarat sebelum melakukan amalan yang lain.

Misalnya, sebelum sholat dan melaksanakan manasik (prosedur) haji/umroh harus terlebih dahulu bersuci (dari najis dan hadats) baik tubuh, pakaian, maupun tempat, serta berwudhu.

Kesucian (dari hadats dan najis) dan berwudhu menjadi syarat sahnya sholat dan manasik haji/umroh. Artinya, jika tubuh masih dalam keadaan hadats atau pada pakaian dan/atau tempat ibadah masih terdapat najis dan/atau wudhunya batal, maka sholat dan haji/umrohnya menjadi tidak sah alias batal. Karenanya bersuci dan berwudhu menjadi amalan pembuka yang mutlak harus dilakukan terlebih dahulu.

Nah…

“Segala sesuatu tergantung dari niatnya….” (hadits)

dan tidaklah setiap ibadah yang kita lakukan kecuali diniatkan hanya kepada ALLAH Swt alias ikhlas.

(sekaligus mengoreksi pemahaman ikhlas yang sudah terlanjur salah kaprah)

Akan tetapi, ‘niat’ sifatnya berbeda dengan amalan pembuka (seperti bersuci dan berwudhu pada contoh sebelumnya).

Pada amalan-amalan yang sifatnya fardhu (wajib), ikhlas atau tidak ikhlas, amalan itu tetap harus dilaksanakan. Selama amalan fardhu belum dilakukan, maka ada ‘hutang’ kewajiban yang menjadi beban. Kita tidak bisa berdalih menunggu hadirnya hati yang ikhlas terlebih dahulu sebelum akan melakukan sholat fardhu lima waktu, misalnya. Lha, kalo Anda keburu mati, gimana???

Dalil tentang ikhlas sebagai syarat diterimanya amalan tidak lantas menjadi penghapus atau penggugur kewajiban di saat kondisi hati yang ikhlas belum terpenuhi.

Justru, dalil itu menjadi penegas bahwa betapa ruginya kita yang sejak baligh sudah terkena kewajiban untuk melakukan berbagai amalan fardhu, yang jika amalan itu tidak dilaksanakan maka kita berdosa, dan jika amalan itu dilakukan tidak dengan niat yang ikhlas maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa (meski telah bebas/gugur kewajiban).

Mensucikan hati (takiyatun nafs) adalah satu amalan tersendiri. Sedangkan berhijab adalah amalan yang lain lagi. Keduanya tidak saling terkait dan tidak menjadi persyaratan sebelum melakukan yang lain. Tegasnya, bersihnya hati bukan menjadi syarat sebelum berhijab!

Mensucikan hati dari berbagai penyakit (syirik, riya’, ujub, dengki) menjadi kewajiban permanen bagi setiap muslim agar amalan-amalan salehnya tidak hangus sebagaimana kayu yang terbakar api.

Anda suka berburuk sangka, itu berdosa. Anda belum berhijab lalu berburuk sangka, itu berdosa. Anda sudah berhijab lalu berburuk sangka, itu juga berdosa. Berburuk sangka dalam keadaan berhijab sama berdosanya dengan berburuk sangka dalam keadaan tidak berhijab. Bukan berarti wanita yang sudah berhijab lalu berburuk sangka mendapat dosa yang lebih besar daripada wanita berburuk sangka yang belum berhijab.

Anda masih suka bergunjing, itu berdosa. Bergunjing itu membicarakan keburukan orang lain. Lho, tapi jika keburukan itu benar-benar terjadi alias fakta, bukan bergunjing (menggosip), dong??? Itulah bergunjing/menggosip. Karena jika membicarakan keburukan orang lain yang tidak benar-benar terjadi, itu namanya memfitnah.

Baik Anda sudah berhijab ataupun belum berhijab, saat Anda bergunjing maka dosanya sama-sama saja besarnya.

Bergunjing tidak menjadi boleh untuk wanita yang belum berhijab, lalu menjadi tidak boleh untuk wanita yang sudah berhijab.

Ketujuh (terakhir),

Pada ayat ke-31 dari QS. An Nuur [24], perintah berhijab didahului oleh perintah menahan pandangan dan kemaluan (ingat poin keenam, menahan pandangan dan kemaluan tidak lantas menjadi amalan prasyarat sebelum berhijab).

Kalimat itu (justru) harus dimaknai sebagai tuntunan pokok dalam berhijab. Yaitu, hendaklah hijab yang dikenakan oleh para muslimah membuat siapapun yang melihatnya menundukkan pandangan dan kemaluannya. Bukan malah sebaliknya, wanita berhijab kok malah terlihat lebih ‘menggairahkan’ dan ‘bikin nafsu’ ketimbang yang tidak berhijab.

Anda tidak perlu lagi bertanya tentang hal-hal teknis kecil-kecil tetek bengek remeh-temeh pathing krenthil semacam: apa jenis kainnya, apa warna kainnya, atapun bagaimana model/fashion hijab yang sesuai ketentuan syariah.

Gunakan akal sehat dan hati nurani Anda yang telah dinaungi oleh cahaya keimanan (yaitu, patuh pada ALLAH Swt. dan Rasulullah SAW.).

Sederhananya, jika hijab yang Anda kenakan tidak membuat orang yang melihat menundukkan pandangan dan kemaluannya, malah sebaliknya, maka sebelum terburu-buru menyalahkan orang lain, periksalah hijab yang Anda kenakan!

***

Jadi, tunggu apa lagi???

Berhijablah!!!

Wallahu’alam

Just a thought

Tinggalkan komentar