h1

Sederhana dan Kuno, Tips Bebas Penipuan Bisnis

11 Juni 2014

Meski bukan paranormal, indigo, ataupun orang suci, saya merasa memiliki semacam insting alamiah. Yaitu kemampuan mengendus potensi penipuan. Meski tidak dijamin 100 persen akurat, setidaknya hingga hari ini saya terbebas dari penipuan kelas kakap yang melibatkan uang banyak.

Intinya dengan insting tersebut saya mampu menolak ajakan-ajakan untuk bergabung ke dalam bisnis tertentu. Saya sebut tidak 100 persen akurat, mungkin karena di antara ajakan bisnis yang pernah mampir ada yang benar-benar bisnis serius dan jujur. Tapi saya tolak karena bisikan insting. Sedangkan sisanya saya yakin benar-benar penipuan, minimal hasilnya tidak se-extraordinary seperti yang dipresentasikan.

Multi Level Marketing alias MLM…

Yaa, secara kasar, 90-an persen tawaran bisnis yang datang kepada saya hampir pasti bersifat MLM:

Zaman bersekolah di SD (1986 – 1991) di Pontianak, saya mengenal CNI dari teman sekolah saya yang orang tuanya bermain disitu, lewat produknya Sun Chlorella yang diklaim sebagai ‘nutrisi super’.

Kuliah di Surabaya (1998 – 2005), seorang teman, yang bercelana cingkrang dan berjenggot, ngotot mengajak saya menghadiri sebuah ‘seminar bisnis’ (begitu katanya). Sejak awal sudah saya todong, “MLM, kan???” Bersusah payah dia berkelit, akhirnya saya mengalah dan bersedia datang. Ternyata yang mengundang adalah Amway. Seingat saya, akhirnya dia pun memutuskan tidak jadi join.

Sedang asyik hangout sambil mem-preview buku-buku di jajaran rak yang tersusun rapi di Toko Buku Uranus (Ngagel Jaya Selatan), seorang wanita muda nan cantik berpenampilan rapi ala eksekutif mendekati saya, memperkenal diri, dan menjelaskan panjang lebar kali tinggi yang ternyata member Billionaires.

Dua tahun belakangan, saya kerap bertengkar seru dengan ibu mertua karena Melia Propolis. Sebelumnya, ibu mertua saya ikut K-Link namun ditinggalkan karena merasa kemahalan dan tidak sukses. Dan sepertinya di tahun-tahun ke depan saya akan tetap bertengkar dengan beliau selama masih menjadi member Melia. Terlebih lagi karena belum lama ini beliau, dengan tanpa seizin saya, mendaftarkan istri saya sebagai salah satu member dengan bela-belain berhutang demi membuka ‘titik’ baru karena para downliner di titiknya yang lama terlanjur pasif.

Selasa kemarin (10/6) barusan ini, saya bertandang ke rumah kerabat (jauh) yang belasan tahun tidak bersua dan baru saya ketahui alamatnya sehari sebelumnya. Saya ber-husnudzon, mereka ingin menyambung kembali tali silaturrahim. Meski dalam pembicaraan via telepon di hari sebelumnya (9/6) dengan sang bulik (tante), sempat terucap kalimat tentang adanya peluang bisnis berbasis IT, saya singkirkan dulu pikiran MLM, saya fokus pada silaturrahim-nya. Ealaaaah, ternyata benar MLM lagi. Kali ini TalkFusion. Rasanya diri ini bak dikhianati saudara sendiri. Jauh-jauh dari Kenjeran ke Ngagel Mulyo untuk silaturrahim, lha kok jadinya mendengarkan anaknya bulik yang baru setahun lulus SMK, yang belum tentu bisa menjelaskan apa bedanya 3G dengan 4G, itu dengan lugunya ngecepret tentang TalkFusion.

Salah seorang selebriti, dalam suatu acara talkshow di sebuah stasiun televisi, pernah berseloroh dengan cara becanda-menyindir (kurang lebih) begini, “Elu bisnis MLM. Memang Elu bisa kaya. Tapi habis tuh Elu dijauhi temen.”

***

Apakah saya anti MLM??? Saya tegaskan, iya! Secara lebih halusnya, saya akan mengatakan kepada orang yang mengajak join MLM bahwa saya punya pilihan cara sendiri, yang pasti bukan MLM, untuk menjemput rezeki yang ALLAH tebarkan di segenap penjuru muka bumi ini.

Namun dalam tulisan ini saya tidak membeberkan alasan-alasannya karena sudah banyak pakar kompeten maupun testimoni ‘korban’ yang mengulasnya. Bahkan beberapa ulama juga sudah membuat fatwa haram tentang perdagangan cara tersebut. Silahkan googling saja sendiri.

***

Dalam menjalani kehidupan, tentu saja (seharusnya) setiap manusia memiliki prinsip-prinsip yang dipilihnya, dipegang teguh, diyakini, dan dijadikan penuntun dalam bertindak. Prinsip-prinsip tersebut dibangun lewat proses yang sangat panjang. Mulai sejak masih di dalam kandungan, dalam masa pengasuhan orang tua, dalam proses pendidikan, dalam pergaulan, maupun terutama dalam pengalaman-pengalaman hidup.

Umumnya, suatu prinsip yang dibangun dari pengalaman hidup, terlebih lagi jika ditambah dengan faktor waktu yang panjang, akan sangat sulit diubah. Kecuali jika diri sang oknum pemilik prinsip itu sendiri yang mengubahnya. Kalaupun ada faktor luar yang bisa, maka pasti hanya ALLAH saja yang mampu membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Saya punya prinsip tentang pilihan agama dan tentang bagaimana cara menjalankannya. Saya juga prinsip tentang memilih pasangan, tentang memilih pekerjaan, tentang pergaulan, tentang menghadapi masalah, dan masih banyak lagi. Termasuk pula di antara, saya pun punya prinsip tentang bagaimana cara saya mendapatkan uang.

Inilah yang akan saya bagikan…

I’m so simple, so old-fashion…

(tentu hal tersebut bukan masalah buat loe, kan??? heheheee)

Hanya ada tiga alasan yang logis tentang kenapa kita menerima uang, sehingga jika ditanyakan dari mana asalnya, kita akan dengan mudah menjawabnya:

Pertama, pemberian…

Pemberian, hadiah, hibah, warisan, traktiran, dan sejenisnya saya golongkan ke dalam kategori ini. Wujudnya bisa berupa cash money maupun benda-benda materiil lainnya. Menerima pemberian adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi siapapun.

Namun, dengan mencermati perkembangan akhir-akhir ini, menerima pemberian menjadi sebuah perbuatan yang harus dilakukan dengan amat sangat hati-hati.

Jika Anda adalah pejabat negara, maka bersiaplah kena pasal gratifikasi. Jika Anda petinggi parpol, maka curigalah itu upaya sang pemberi untuk membeli pengaruh Anda ke anggota DPR kader Anda. Jika Anda perempuan muda dan cantik, maka jangan kaget jika ternyata Anda adalah istri kesekian dari suami Anda untuk menyamarkan aset deposito, properti, dan sebagainya dari uang negara yang digasaknya.

KPK telah berkali-kali memanggil bersaksi orang-orang yang diduga menerima pemberian dari para tersangka kasus korupsi. Bukan tidak mungkin, sebentar lagi akan makin banyak oknum yang dikenai pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) akibat menerima sesuatu. Waspadalah!

Saya bukan fakir, saya bukan kaum miskin, saya pun bukan golongan penerima zakat. Sehingga saya tidak pernah menerima pemberian (dalam nilai besar) dari orang yang tidak dikenal. Sejauh ini pemberian yang saya terima hanya terbatas berasal dari keluarga dan kenalan.

Saya belum pernah menyetorkan uang dalam jumlah besar ke bank manapun yang sedang menyelenggarakan undian. Belakangan ini, saya juga tidak mengikuti kuiz atau promo apapun di manapun. Sehingga, jika tiba-tiba ada yang menelepon (atau mengirim pesan singkat) memberitahukan bahwa saya memenangkan hadiah bla bla bla, maka akan saya abaikan dengan sangat santai dan ringan. Kalaupun ada yang menelepon, saya akan bilang, “Sudah, Mas/Mbak. Itu hadiahnya dijual saja. Uang penjualannya Anda bayarkan pajak dan biaya administrasi. Sisanya, kita bagi berdua 50-50. Pokoknya saya serahkan kepada sampeyan untuk mengurus semuanya, oke???”

Pernah, saya diberi uang oleh kepala sekolah tempat saya mengajar, saya minta beliau menjelaskan dari mana asalnya. Pernah pula, saya diberi uang yang katanya ‘bagi hasil’ dari akumulasi ‘pajak’ yang dikenakan kepada murid-murid yang mengambil tabungan yang dititipkan di sekolah. Uang itu seluruhnya saya masukkan ke kotak amal masjid, karena saya tidak merasa pantas memakan uang dari jerih payah orang tua dan murid menabung.

Kedua, berdagang…

Berdagang itu sederhana:

  • Produknya jelas,
  • Barangnya halal,
  • Barangnya bermanfaat dan dibutuhkan,
  • Barangnya diperoleh dengan cara yang benar dan sudah dikuasai secara sah,
  • Tawarkan kepada calon pembeli,
  • Paparkan fitur-fiturnya secara obyektif tanpa dilebih-lebihkan,
  • Negosiasi harga,
  • Jika deal, pembeli membayar, penjual menyerahkan barang,
  • Selisih harga beli dan harga jual itulah keuntungan.

Islam juga sudah memberikan panduan yang gamblang tentang tata cara berdagang dan etikanya. Tidak perlu repot ini-itu. Tidak harus rumit begini-begitu. Tidak usah rekrut orang sana-sini, kecuali mau buka outlet/stand/shop yang butuh tenaga kerja.

Ketiga, bekerja…

Kerja di sektor formal maupun non formal itu prinsipnya juga sederhana:

  • Saya punya keahlian yang bermanfaat dalam hal-hal yang dibenarkan Islam,
  • Anda membutuhkan keahlian yang saya miliki,
  • Saya butuh kerjaan, Anda butuh pekerja, kita nego,
  • Saya cocok, Anda cocok, maka kita deal menjalin kerjasama,
  • Waktu dan cara pembayaran honor saya sesuai dengan kesepakatan, apakah cash ataukah transfer,
  • Jika Anda kecewa pada kinerja saya, maka Anda dapat memberhentikan saya,
  • Jika saya merasa Anda mengeksploitasi saya, maka saya resign,
  • Selesai!

***

So simple, so old-fashion…

And I’m free…

Wallahu’alam…

Just a thought

3 komentar

  1. Saya kira mau menjelaskan talkfusion secara gamblang, ternyata enggak. Tapi cukup bermanfaat… trims


    • tdk spesifik ttg TalkFusion, pak… cuma contoh kasus yg riil dialami barusan terjadi saat nulis artikel ini…


  2. SETUJU 100%



Tinggalkan komentar