Posts Tagged ‘pendidikan nasional’

h1

Begini Lho, Wirausaha Bidang Pendidikan Yang Salah Kaprah Parah

22 Oktober 2014

Bunga (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu siswi les privat yang saya bimbing. Bunga duduk di kelas VI sebuah sekolah dasar negeri di kawasan Utara Kota Surabaya. Bunga di bawah bimbingan saya sejak semester genap tahun ajaran 2013 – 2014 saat ia duduk di kelas V khususnya untuk mata pelajaran Matematika dan (sesekali belajar) IPA.

Biasanya, lazimnya, normalnya, Bunga belajar privat bersama saya hanya pada hari-hari yang dijadwalkan yang telah disepakati sejak awal tahun ajaran. Amat sangat jarang Bunga minta dibimbing belajar di luar jadwalnya, yaitu Selasa dan Kamis sore pukul 16.00 – 17.00 WIB. Bahkan meski saya sudah menawarkan les di waktu yang lebih fleksibel khusus pada saat UTS dan UAS pun (menyesuaikan jadwal ujian Matematika dan IPA), Bunga tetap les sesuai jadwalnya. Pernah, Selasa sore Bunga les, ternyata ia sudah UTS Matematika pada Selasa paginya.

Namun, ada sesuatu yang benar-benar tidak biasa yang saya alami sepanjang sejarah menjadi guru privat Bunga. Sabtu (18/10) sekitar pukul setengah 11 malam, saya ulangi: sekitar pukul setengah 11 malam, saya yang baru saja pulang dari ‘bermalammingguan’ bersama sang kekasih (istri saya, maksudnya) dan baru saja beberapa langkah memasuki rumah, belum lagi sempat mencopot helm dan berganti pakaian, ada pesan singkat yang masuk ke ponsel saya. Sangat sangat sangat tidak diduga, pesan itu dikirim oleh ibunda Bunga yang berisi permintaan les tambahan pada hari Minggu keesokan harinya karena ada tugas dari guru kelasnya. Terlebih, karena menurut Bunga sekolahnya sudah kelar melaksanakan UTS pada hari Jumat pekan itu juga.

Saya yang masih terheran-heran menjawab pesan tersebut dengan menjanjikan jadwal les tambahan pada Minggu (19/10) pukul 13.00 WIB, tanpa mengenakan biaya les tambahan tentunya.

*** lanjutkan membaca

h1

Kurikulum 2013 May Go To H***

28 Desember 2013

Agar lebih sensasional, saya sengaja memilih judul yang seperti itu. Tiga karakter setelah huruf h yang saya samarkan dengan karakter bintang sebenarnya adalah huruf-huruf ell. Sehingga kata penuhnya adalah hell (neraka), wkwkwkkk 😀 .

Pembaca yang belajar bahasa Inggris pasti paham makna dari ungkapan “go to hell”. Bagi yang belum paham, secara tekstual artinya “pergi ke neraka”. Ngapain??? Emangnya di neraka enak???

Bukan berarti pergi ke neraka beneran. Ungkapan itu bermakna konotatif. Jika seseorang mengatakan kepada Anda, “You can/may go to hell.” maka yang sebenarnya ia maksud adalah bahwa ia sama sekali tidak peduli kepada Anda dan apapun yang Anda lakukan, meski Anda pergi ke neraka sekalipun. Dan menggunakan kata hell dalam kalimat yang ditujukan kepada orang lain adalah ungkapan yang bernada kasar sebagai penegasan sikap dari si pembicara.

Dalam sekuel film Harry Potter, jika jeli, Anda akan menemukan frasa “bloody hell” yang diucapkan oleh beberapa tokoh. Sudah ada kata hell, masih diikuti dengan kata bloody (berdarah-darah) pula. Mungkin bisa dimaknai sebagai ungkapan makian yang (sangat) kasar bagi orang Inggris.

Anyway, kembali ke judul artikel ini…

Ya! Saya memang mengajak Anda untuk tidak mempedulikan Kurikulum 2013 dalam konteks sebagai orang tua. Tetapi, sebagai warga negara, tentu kita harus terus mencermati dan mengkritisinya. Sebagaimana program-program dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang menggelontorkan dana APBN (baca: uang rakyat) dalam jumlah besar, kita berhak dan wajib untuk tidak mengabaikannya.

Hal yang paling mengemuka, atau bisa dibilang berubah drastis dari Kurikulum 2013, yang di-blow up media, adalah penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), serta penghapusan ujian nasional, semuanya untuk tingkat Sekolah Dasar (SD).

Kebijakan tersebut tentulah mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Namun secara kasat mata, saya menilai kali ini pihak yang pro hanya dari sisi pemerintah (Kemendikbud dengan segenap para profesor/pakar yang super duper jenius puol sampai mentok). Sedangkan pihak yang kontra tidak hanya dari kalangan masyarakat selaku orang tua dan keluarga dari para murid SD, namun ternyata juga para pengamat pendidikan, para akademisi di luar bidang pendidikan, dan bahkan para praktisi bisnis dan industri selaku user dari tenaga kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.

Setidaknya ada dua alasan kenapa saya mengajak para orang tua murid untuk mengabaikan saja polemik Kurikulum 2013. baca selengkapnya

h1

Upaya Menemukan Rumusan Pendidikan Berkarakter Dalam Islam

27 Juli 2013

Sudah sejak lama keprihatinan tentang kemerosotan kualitas kehidupan bangsa mengemuka. Dulu, di tahun 1997 – 1998, krisis moneter dituding oleh para teknokrat sebagai biang keladinya. Sedangkan kalangan agamawan, filsuf, pendidik, dan budayawan memandang ada dimensi/aspek lain yang lebih dari sekedar materiil eksternal yang bertanggung jawab terhadap kerusakan kondisi bangsa. Mereka meyakini ada dimensi/aspek non materiil internal di dalam diri manusia-manusia Indonesia yang mendorong terjadinya kerusakan di berbagai sendi kehidupan bangsa.

Mulailah dimunculkan berbagai istilah-istilah yang diklaim sebagai aspek yang seharusnya diperbaiki, bukan hanya aspek materiil saja. Sebutlah di antaranya: moral, sopan santun, etika, budi pekerti, kepribadian, akhlaq (di kalangan kaum muslimin), karakter, dan sebagainya.

Berbagai wacana dilontarkan oleh para pemerhati di media. Diskusi, sarasehan, dan seminar publik pun digelar. Sebagian kalangan bernostalgia ke masa lalu kala hadirnya mata pelajaran di sekolah yang bernama: Budi Pekerti. Sebagian lagi memandang infiltrasi budaya asing lewat globalisasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai asli budaya bangsa dipandang sebagai biang keladinya. Sedangkan beberapa kalangan mengkritik alokasi mata pelajaran agama di sekolah yang hanya dua jam atau mata kuliah agama di perguruan tinggi yang hanya dua SKS.

Saya sendiri ikut larut di dalam pergolakan pemikiran tersebut. Terlebih lagi saat mulai berkecimpung di dunia pendidikan dan mendapati kenyataan yang demikian membuat miris. Padahal, saya sendiri juga adalah produk sistem pendidikan nasional ala CBSA dan link & match zaman orde baru. Uniknya, setiap generasi yang hadir lebih dahulu memandang generasi setelahnya selalu mengklaim dirinya sebagai ‘gak parah-parah amat’, ‘dulu kita kok gak segitu parahnya’, ‘dulu kita masih lebih baik’, dan sejenisnya. Ini ciri khasnya orang yang merasa dirinya benar dan pihak lain yang dianggap salah atau minimal ada masalah. selengkapnya

h1

Mendalami Pemikiran Siswa atas Sebuah Persoalan, Bukan Menolerir Jawaban Nyeleneh

25 Juli 2013

Kamis (25/07) sekitar pukul 2 siang. Sepulang dari berburu beras untuk persediaan dapur, saya leyeh-leyeh sebentar di depan televisi sambil browsing acara-acara sedang tayang di berbagai saluran. Perhatian saya terhenti pada saluran TVRI yang sedang menayangkan program kerjasama dengan Televisi Edukasi (tv-e). Program yang disiarkan nampaknya adalah rekaman sebuah seminar yang belakangan saya ketahui terkait dengan sosialisasi pelaksanaan Kurikulum 2013 yang baru.

Ada dua hal yang menyebabkan perhatian saya tiba-tiba terhenti di saluran ini. Pertama, penampilan dan gaya audiensi si pembicara yang cukup eksentrik. Apalagi kemudian ditampilkan namanya, yang tidak saya ingat, namun saya hanya mengingat gelar akademiknya yang cukup mentereng. Namanya diawali oleh gelar Dr. dan Ir. lalu diakhiri dengan Ph.D.

Kedua, si pembicara menjelaskan (yang saya duga, karena saya tidak menyimak dari awal) tentang perbedaan antara kurikulum yang lama dengan Kurikulum 2013. Di antara poin-poin perbedaan yang beliau jelaskan, salah satu poin yang membuat pikiran saya tiba-tiba riuh dan semerawut dengan berbagai argumen pro-kontra yang juga lalu mendorong saya untuk menulis artikel ini adalah: (di Kurikulum 2013) guru harus menolerir jawaban siswa yang nyeleneh.

Nah, mari kita diskusikan… lanjutkan

h1

A Brief Moment of Stupidity Caused by ‘un-WILLING-ness’

21 Mei 2013

Kali ini, kita lupakan dulu segala fakta carut-marutnya sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) di republik ini, kita lupakan dulu segala teori, analisis, dan hipotesis para pakar pendidikan yang telah menghiasi relung pemikiran, kita lupakan dulu segala bentuk kurikulum, silabus, dan RPP yang telah membuat sibuk para guru melebihi aktifitas riilnya sebagai seorang pendidik.

Saya ingin mengajak pembaca ke situasi nyata yang ada di kelas, salah satu momen saja yang baru-baru ini saya alami.

It’s not an apology. Nyatanya, saya bukanlah figur guru yang ideal, di semua aspek. Bahkan mungkin saya sama sekali tidak pantas menjadi guru. Sebagai guru pembimbing bidang studi Fisika tingkat SMP, saya hanyalah lulusan jurusan Fisika FMIPA di sebuah institut teknologi milik pemerintah yang berlokasi di kota Surabaya.

Hari-hari di bulan Mei adalah masa-masa mendekati ujian akhir semester (UAS). (Rasanya) di semua sekolah, sangat umum/wajar sekali bila para guru sudah mulai ‘mengorientasikan’ suasana menuju UAS. Di antaranya, memberikan arahan tentang bahan yang akan dijadikan ujian.

Fisika, adalah salah satu mata pelajaran yang dianggap ‘momok’ dengan sejuta alasan yang masing-masing orang bisa sama dengan yang lain, bisa pula berbeda. Meski demikian, faktanya, jarang orang mau mengakui, justru Fisika (dan Matematika, yang juga menjadi momok) adalah pelajaran yang bisa ditargetkan untuk ‘benar semua’ dalam Ujian Nasional (UN). Percaya atau tidak??? lanjutkan membaca